Rabu, 22 April 2015

SEJARAH




Ø CORAK HIDUP MASYARAKAT PRAAKSARA
1.      Pola Hunian
Situs Gua Hunian Pra Sejarah Morotai Selatan, Kajian Fungsi dan Artefaktual
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah)(Soekmono, 1996 : 46) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut(Poesponegoro, 1993 : 125). Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidupnomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu (Poesponegoro, 1993 : 135). Tempat tinggal yang pertama dihuni adalah gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis. Selain di gua-gua, ada juga yang bertempat tinggal di tepi pantai, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak di samping tulang-tulang manusia dan alatnya di Sumatera Timur (Poesponegoro, 1993 : 125).

Sebelum bertempat tinggal manusia sudah mempunyai kemampuan untuk membuat alat-alat yang berasal dari batu dan tulang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang sudah ada sejak jaman paleolithikum (batu tua). Tidak menutup kemungkinan alat yang berasal dari kayu sudah dibuat, namun dikarenakan sifat dari kayu yang tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Alat-alat dari masa ini bercirikan masih sangat sederhana, belum diasah dan menggunakan teknik droping system. Teknik droping system, yaitu memukulkan batuan yang satu dengan yang lain sehingga diperoleh bentuk yang diinginkan. Jadi alat dari masa paleolithikum ini tidak sengaja dibuat permanen, tapi dibuat berdasarkan kebutuhan pada saat itu. Seiring perkembangan pola pikir manusia, alat-alat yang digunakan manusia juga mengalami perkembangan, dari yang semula sangat sederhana tidak diasah menjadi diasah, bahkan dibuat dari bahan yang indah dan bagus. Alat-alat yang indah ini sebagian besar merupakan benda pusaka dan kemungkinan juga digunakan alat pertukaran. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya bekas pemakaian pada alat-alat tersebut. Sampai sekarang dalam kepercayaan masyarakat kita masih mengenal kepercayaan akan kekuatan batu yang indah, seperti batu permata dan lain sebagainya (Poesponegoro, 1993 : 178 - 180). Bahkan di Papua sampai sekarang kapak lonjong masih digunakan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat.

Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik (Bellwood, 1996 : 278 -279). Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu (Bellwood, 1996 : 280). Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.
2.      Dari Berburu, Meramu sampai Bercocok Tanam
Dalam masa prasejarah Indonesia, corak kehidupan dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dibagi menjadi dua masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan atau meramu makanan tingkat sederhana serta masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Pada masa tingkat sederhana manusia hidup secara berkelompok. Kelompok laki-laki melakukan perburuan, sedangkan kelompok perempuan mengumpulkan dan meramu makanan. Perburuan dilakukan dengan alat-alat yang masih sangat sederhana.

a. Keadaan Lingkungan
Pada awalnya manusia purba hidup di padang terbuka. Alam sekitarnya merupakan tempat mereka mencari makanan. Mereka menyesuaikan diri terhadap alam sekitar untuk dapat mempertahankan hidup. Manusia purba yang hidup di daerah hutan dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan binatang buas, terik matahari dan hujan. Mereka hidup berkelompok, tinggal di gua-gua atau membuat tempat tinggal di atas pohon besar. Manusia yang tinggal di gua-gua dikenal sebagai cavemen (orang gua). Dengan demikian, mereka sangat bergantung pada kebaikan alam; mereka cenderung pasif terhadap keadaan.
Kehidupan di dalam gua-gua pada masa ini menghasilkan lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua yang (kemungkinan besar) menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi mereka. Lukisan-lukisan pada dinding gua lain berupa cap tangan, babi dan rusa dengan panah dibagian jantungnya, gambar binatang melata, dan gambar perahu. Lukisan dinding gua antara lain ditemukan di Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Kepulauan Kei, dan Pulau Seram.
b. Kehidupan Sosial
Kondisi alam sangat berpengaruh terhadap sifat dan fisik makhluk hidup tanpa kecuali manusia. Pola kehidupan manusia yang primitif sangat menggantungkan hidupnya pada ketersediaan alam, di mana daerah-daerah yang didiami harus cukup untuk memenuhi kebutuhannya, untuk kelangsungan hidup terutama di daerah yang cukup persediaan air. Temuan artefak pada Zaman Palaeolitikum menunjukkan bahwa manusia Pithecanthropus sudah mengenal perburuan dan menangkap hewan dengan cara yang sederhana.
Hewan yang menjadi mangsa perburuan adalah hewan yang berukuran besar, seperti gajah, sapi, babi atau kerbau. Saat perburuan, tentu diperlukan adanya kerja sama antarindividu yang kemudian membentuk sebuah kelompok kecil. Hasil buruannya dibagikan kepada anggota-anggotanya secara rata. Adanya keterikatan satu sama lain di dalam satu kelompok, yang laki-laki bertugas memburu hewan dan yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurus anak. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10 – 15 orang.
Pada masa ini, manusia tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan tepi sungai. Penangkapan ikan menggunakan mata panah atau ujung tombak yang berukuran kecil. Temuan-temuan perkakas tersebut antara lain kapak Sumatera (Sumatralith), mata panah, serpih-bilah dan lancipan tulang Muduk. Ini menunjukkan adanya kegiatan perburuan hewan-hewan yang kecil dan tidak membutuhkan anggota kelompok yang banyak atau bahkan dilakukan oleh satu orang. Dalam kehidupan berkelompok, satu kelompok hanya terdiri dari satu atau dua keluarga.
c. Budaya dan Alat yang Dihasilkan
Masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan ini lebih senang tinggal di gua-gua sebagai tempat berlindung. Mereka mulai membuat alat-alat berburu, alat potong, pengeruk tanah, dan perkakas lain. Pola hidup berburu membentuk suatu kebutuhan akan pembuatan alat dan penggunaan api. Kebutuhan ini membentuk suatu budaya membuat alat-alat sederhana dari batu, kayu, tulang yang selanjutnya berkembang dengan munculnya suatu kepercayaan terhadap kekuatan alam. Diduga, alat-alat ini diciptakan oleh manusia pithecanthropus dari zaman Paleolitikum, misalnya alat-alat yang ditemukan di Pacitan. Menurut H.R. von Heekeren dan R.P. Soejono, serta Basuki yang melakukan penelitian tahun 1953-1954, kebudayaan Pacitan merupakan kebudayaan tertua di Indonesia. Pada masa berburu dan meramu tingkat lanjut, ditemukan alat-alat dari bambu yang dipakai untuk membuat keranjang, membuat api, membuat anyaman dan pembakaran.
Selain di Pacitan, temuan sejenis terdapat pula di Jampang Kulon (Sukabumi), Gombong, Perigi, Tambang Sawah di Bengkulu, Lahat, Kalianda di Sumatera Selatan, Sembiran Trunyan di Bali, Wangka, Maumere di Flores, Timor-Timur (Timor Leste), Awang Bangkal di Kalimantan Timur, dan Cabbenge di Sulawesi selatan.
Hasil-hasil kebudayaan yang ditemukan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan antara lain:
1.              Kapak perimbas : tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara digenggam; diduga hasil kebudayaan Pithecanthropus Erectus. Kapak perimbas ditemukan pula di Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
2.              Kapak penetak : bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas, namun lebih besar dan masih kasar; berfungsi untuk membelah kayu, pohon, bambu; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
3.              Kapak genggam : bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas dan penetak, namun bentuknya lebih kecil dan masih sederhana dan belum diasah; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia; digenggam pada ujungnya yang lebih ramping.
4.              Pahat genggam : bentuknya lebih kecil dari kapak genggam; berfungsi untuk menggemburkan tanah dan mencari ubiubian untuk dikonsumsi.
5.              Alat serpih atau flake : bentuknya sangat sederhana; berukuran antara 10 hingga 20 cm; diduga digunakan sebagai pisau, gurdi, dan penusuk untuk mengupas, memotong, dan menggali tanah; banyak ditemukan di goa-goa yang pernah ditinggali manusia purba.
6.      Alat-alat dari tulang : berupa tulang-belulang binatang buruan. Alat-alat tulang ini dapat berfungsi sebagai pisau, belati, mata tombak, mata panah; banyak ditemukan di Ngandong.
Kepercayaan dalam masyarakat purba sudah tumbuh dan berkembang sejak dahulu. Salah satu aspek yang dapat dikaitkan dengan kepercayaan adalah berupa peninggalan-peninggalan megalitik. Kepercayaan pada masyarakat purba dibedakan menjadi animisme, dinamisme, totemisme dan Monoisme.

Ø  Animisme merupakan kepercayaan manusia purba terhadap  roh nenek moyang yang telah meninggal dunia. Menurut mereka, arwah nenek moyang selalu memperhatikan mereka dan melindungi, tetapi akan menghukum mereka juga kalau melakukan hal-hal yang melanggar adat. Dengan demikian, orang tua yang mengetahui dan menguasai adat nenek moyang akan menjadi pemimpin masyarakat. Penghormatan kepada nenek moyang dilakukan dengan pimpinan orang tua tersebut, yang diterima oleh masyarakat sebagai ketua adat.

Ø  Dinamisme merupakan kepercayaan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib, seperti gunung batu, dan api. Bahkan benda-benda buatan manusia diyakini juga mempunyai kekuatan gaib seperti patung, keris, tombak, dan jimat. Sesungguhnya proses pembuatan benda-benda megalitik, seperti menhir, arca, dolmen, punden berundak, kubur peti batu, dolmen semu atau pandhusa, dan sarkofagus dilandasi dengan kayakinan bahwa di luar diri manusia ada kekuatan lain. Dilandasi anggapan bahwa menhir atau arca, sebagai lambang dan takhta persemayaman roh leluhur, kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dolmen dan punden berundak digunakan untuk tempat upacara. Pendirian punden berundak juga berdasarkan atas arah mata angin yang diyakini memiliki kekuatan gaib atau tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

Ø  Totemisme merupakan Kepercayaan atas dasar keyakinan bahwa binatang-binatang tertentu merupakan nenek moyang suatu masyarakat atau orang-orang tertentu. Binatang-binatang yang dianggap sebagai nenek moyang antara orang yang satu dengan orang atau masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Biasanya binatang-binatang yang dianggap nenek moyang itu, tidak boleh diburu dan dimakan, kecuali untuk keperluan upacara tertentu.


Ø  PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
1.      Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu dan tulang yg berkembang pada zaman paleolitikum atau zaman batu tua. dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan kasar. kebudayaan zaman paleolitikum secara umum terbagi menjadi kebudayaan pacitan dan kebudayaan ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang didaerah pacitan. beberapa alat dari batu ditemukan di daerah ini. alat batu itu masih kasar dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya.alat batu ini sering disebut kapak genggam dan kapak perimbas, digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. dipacitan  juga ditemukan alat yg disebut chopper sebagai alat penetak.
b. Kebudayaan Ngandong
Didaerah ini banyak ditemukan alat dari batu dan tulang yg berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yg  digunakan sebagai belati. disangiran jg ditemukan alat-alat dari batu yg indah seperti kalsedon. alat-alat ini sering disebut juga flakke.



2.      Antara Pantai dan Gua
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu tengah (mesolitikum). kebudayaan ini sudah lebih maju dan mengalami penyempurnaan dari zaman paleolitikum. kebudayaan ini dibagi menjadi kebudayaan kjokkenmoddinger dan abris sous roche.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa denmark, kjokken berarti dapur dan moddinger dapat diartikan sampah (sampah dapur). dalan kaitannya dng budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yg menggunung di sepanjang pantai sumatera timur antara langsa aceh sampai medan.

b.Kebudayaan Abris Sous Roche
Merupakan kebudayaan yg ditemukan di gua-gua. kebudayaan ini banyak ditemukan di besuki, bojonegoro, juga didaerah sulawesi selatan seperti di lamoncong.

3.      Mengenal Api
Dari proses trial and error, yang memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun inilah terjadi perkembangan dan penyempurnaan pembuatan alat-alat yang digunakan, sehingga manusia menemukan bahan dasar pembuatan alat yang baik dan kuat serta hasilnya pun menjadi lebih baik. Dengan demikian tersusunlah pengetahuan know how. Dalam bentuk know how itulah penemuan-penemuan tersebut diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Perkembangan kebudayaan terjadi lebih cepat setelah manusia menemukan dan menggunakan api dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memanfaatkan api untuk menghangatkan tubuhnya, ketergantungan manusia akan iklim menjadi berkurang. Api kemudian juga digunakan untuk memasak dan perlengkapan dalam berburu. Di zaman yang lebih maju nantinya, arti api menjadi lebih penting. Pengetahuan tentang proses pemanasan dan peleburan merintis jalan pada pembuatan alat dari tembaga, perunggu dan besi. Dalam catatan sejarah misalnya, peralatan besi digunakan pertama kali di Irak abad ke-15 SM (Brouwer, 1982 : 6).

4.      Sebuah Revolusi
Neolitikum sering dikatakan sebagai zaman revolusi budaya. Mengapa demikian? Karena pada zaman ini terjadi perubahan kebudayaan dari mengumpulkan makanan (food gathering) menjadi memproduksi makanan (food producing). Hal ini menunjukkan adanya kemajuan pesat dari kebudayaan sebelumnya pada masa Mesolitikum.
Pada zaman ini pula manusia sudah mulai mengenal cara bercocok tanam dan beternak untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka membakar hutan dan menanaminya dengan tanaman yang bisa dimakan seperti umbi-umbian. Mereka juga beternak untuk dimanfaatkan dagingnya demi memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Mereka juga sudah mengenal tempat tinggal tetap. Mereka tidak lagi hidup secara nomaden untuk mendapatkan makanan. Mereka terdiri dari sebuah kelompok yang menghuni sebuah perkampungan yang tak beraturan. Dimulai dari kelompok kecil hingga membentuk sebuah perkampungan besar.
Namun mereka juga memiliki kendala. Mereka harus memikirkan bagaimana caranya bertahan di kondisi alam yang belum stabil. Apalagi ditambah dengan ancaman hewan buas yang dapat menyerang kapan saja. Sehingga mereka memiliki solusi yaitu tinggal di rumah panggung.

5.      Konsep Ruang Pada Hunian (Arsitektur)
Menurut Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah lingkungan hidupnya. Pembuatan tanda tanda di alam yang membentang tak terhingga itu untuk membedakan dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat tanda pada suatu tempat itu dapat dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur. Pada saat itu manusia sudah mulai merancang sebuah tempat.
Bentuk arsitektur pada masa praaksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia pada saat itu. Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah dan bangunan yang berkembang pada masa praaksara saat itu. Dari pola mata pencaharian manusia yang sudah mengenal berburu dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar didinding gua tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari, tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di tepi gua yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritualpenghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi.
  
Bentuk pola hunian pada masa praaksara menggunakan penadah angin, menghasilkan pola menetap pada manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yangtersebar di kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan bagian bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di gua. Penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang secara implisit memberikan batas ruang. Pada kehidupan dengan masyaraakat berburu yang masih sangat bergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam. Dengan demikian konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur.




Aksara Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang digunakan di Nusantara untuk secara khusus menuliskan bahasa daerah tertentu. Walaupun Abjad Arab dan Alfabet Latin juga seringkali digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, istilah Aksara Nusantara seringkali dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum berkembangnya Agama Islam di Nusantara dan sebelum kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di Nusantara. Berbagai macam media tulis dan alat tulis digunakan untuk menuliskan Aksara Nusantara. Media tulis untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu, tanduk hewan, lempengan emas, lempengan perak, tempengan tembaga, dan lempengan perunggu; tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara lain meliputi daun lontar, daun nipah, janur kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal, kertas impor, dan kain; tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta.
Pengantar
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4.
Setidaknya sejak abad IV itulah Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskrta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV Aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh Abjad Arab dan Alfabet Latin.
Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku pada tahun 1996.
Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Akara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó'o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.
Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha ga gha nga.
Sejarah
Ada pendapat sebelum hadir abjad Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buddha) dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis Charles Damais (l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran India Selatan atau aliran India Utara, namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi. Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India Selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskerta dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskerta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauh mana kebenarannya, yang jelas pilin—pilin gandha ataupun sulur-suluran—merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).
Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai karya asli pribumi khususnya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi. Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi rumit sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya.
Pada dasarnya aksara yang berkembang di Nusantara secara visual khususnya pada periode Klasik secara umum terdiri dari 33 dasar ucapan sebagai berikut di bawah:


Pendek
Panjang
1.
Velar/laringal/guttural
a
ã
2.
labial
u
û
3.
palatal
i
î
4.
lingual/domal
r
ŗ
5.
dental
l
Ļ
Vokal Rangkap [diftong]



Semua panjang
1.
gutturo palatal
e
ai
2.
gutturo labial
o
au


ö
atau eu
Vokal Perubahan



a.
Visagra
[h]
b.
anusvaraabial
[ŋ]
Konsonan Dasar Ucapan










1.
velar/laringal guttural
k
kh
g
Gh
ng



2.
Palatal

c
ch
J
jh
ny
y
š
3.
Lingual

ţ
ţh
H
ņ
ŗ
ş

4.

dental
t
th
D
dh
n
l
S
5.
Labial

p
ph
B
bh
m
w










h
Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad ke-8 Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memperlihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, namun hampir di setiap wilayah Asia Tenggara Daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad ke-8 Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu Kuno, Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Bali Kuno).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang secara hampir bersamaan. Atau gaya yang telah ada kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara Pegon dan Latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan tersebut nampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara Jawa (tengahan atau baru), terdiri 20 aksara [ho-no-co-ro-ko]:
[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
Kemudian aksara Sunda yang kerap disebut Ca-ca-ra-kan dengan bunyi yang hampir sama tetapi terdiri dari 18 aksara
[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
Kuatnya ciri pribumi yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk mengatasi kesulitan tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi) bahasa-bahasa Nusantara dalam mengalihaksarakan bunyi pepet/pepat dan hiatus (bunyi peralihan di antara dua monoftong berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau konsonan antara seperti sia – sya – sya; dua – duwa – dwa), semua unsur bunyi tersebut hanya dikenal di dalam kosakata bahasa-bahasa daerah di Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, Sumatra, atau Malayu) yang tidak dikenal dalam kosakata bahasa ataupun aksara pengaruh dari India. Ketiadaan inilah yang justru membedakan antara aksara Nusantara dan India, tanda-tanda bunyi sepenuhnya milik "multlak" masyarakat Nusantara dan tentu saja harus dicantumkan ke bentuk aksara.
Pada sejumlah naskah sumber tertulis dari masa lebih tua yang umumnya menggunakan bahasa Sanskrta, kesulitan itu tidaklah terasa benar karena tidak mengenal tanda-tanda bunyi seperti itu sehingga dirasa tidak perlu mencantum-kannya, kecuali tanda-tanda diakritis. Mengatasi kesulitan itu sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama pada pokok kata, melainkan konsonan permulaan sukukata itu dirangkap dengan konsonan permulaan dari sukukata kedua seperti dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas, kdung pluk dan seterusnya. Meskipun diakui sang citraleka (penulis prasasti) tidaklah selalu konsekuen pada suku kata yang sulit atau tidak mungkin dirangkap, maka tanda [ĕ] (pepat) di sini diganti menjadi bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken mapekan dan seterusnya (Boechari:1958).
Media dan alat penulisan
Perbedaan media tulis dan alat tulis mempengaruhi teknik yang digunakan untuk menulis dengan efektif. Perbedaan teknik penulisan yang efektif untuk tiap jenis media tulis dan alat tulis merupakan faktor besar yang menghasilkan keanekaragaman bentuk huruf aksara daerah. Aksara Sunda Kuno memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut paling mudah untuk dituliskan di daun lontar, sedangkan Aksara Bali memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf menyudut akan memecah lembaran daun lontar mengikuti arah seratnya. Aksara Kerinci memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut lebih mudah untuk dituliskan di bilah bambu, sedangkan Aksara Jawa Baru memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf membundar lebih mudah untuk dituliskan di lembaran kertas.
Di masa lampau aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat pada berbagai media keras seperti batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-bahan lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Alat menggores atau memahat aksara pun disesuaikan dengan kadar kekerasan bahan yang dipergunakannya yakni semacam tatah kecil (paku/pasak) menyudut tajam pada bagian ujungnya, atau semacam pisau kecil dibentuk melengkung, pipih, sangat tajam. Selain berfungsi untuk menorehkan aksara, juga untuk mengiris dan menghaluskan bahan (daun) menjadi lempiran-lempiran tipis dengan ukuran panjang, lebar dan ketebalan tertentu yang siap pakai. Bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu (emas, tembaga, perunggu) dipakai semata karena bahan tersebut dianggap lebih tahan lama.
Sejumlah besar data tekstual (prasasti) dari masa lampau sebagian besar ditemukan pada batu atau lempeng emas, perunggu maupun tembaga dan selalu dikeluarkan oleh penguasa (raja). Oleh karena itu setiap prasasti adalah dokumen resmi pemerintah negara atau kerajaan dan benar-benar disahkan oleh raja dengan kata lain Surat Keputusan (SK) kerajaan yang bersangkutan. Anugrah dari raja kepada seseorang yang dianggap berjasa atau memutuskan sesuatu perkara hukum (perdata). Karena itu selain digoreskan pada batu (otentik), dibuat beberapa salinan atau tembusan (tinulad/tiruan otentik) prasasti yang digoreskan pada lempeng tembaga disebut tamra prasasti (Kartakusuma 2003; 2006).
Pada masa dahulu cara pengawetan sesuatu bahan belum dikenal, satu-satunya upaya kearah itu disalin kembali, namun teknik penyalinan kembali lebih sering dilakukan pada sejumlah naskah pada daun tal (rontal), atau daluwang semacam lembaran kertas atau bahan yang diolah dari kulit pohon tertentu. Berbeda dengan negeri Cina, aksara dituliskan dengan menggunakan kuas dengan cara disapukan setelah dicelupkan pada cairan berwarna pekat (semacam tinta). Tentu saja hasilnya jauh berbeda, betapapun hasil goresan berkesan lebih nampak jikalau dibandingkan hasil sapuan, karena aksara yang digoreskan akan menampakkan jejak-tekan berbekas dalam dan terasa manakala diraba dan tidak memerlukan pewarna (tinta) seperti yang dihasilkan oleh sapuan kuas. Menggores atau memahat aksara dengan alat memang jauh lebih rumit, memerlukan keahlian dan ketrampilan dengan ketekunan khusus, hasil latihan dan kebiasaan (secara terus-menerus).
Pada masa lampau, kegiatan menggoreskan aksara atau memahat suatu aksara (naskah karyasastra atau prasasti) dipegang oleh ahli pemahat aksara yang disebut citraleka. Maka itu hasil yang digoreskan atau uang pahatan aksara yang berkembang pada masa klasik bentuknya lebih dapat digolongkan sebagai karya seni kebudayaan menampilkan kekhasan atau keunikan jejak bekas tersendiri. Tentu saja setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan pahatan yang nampak pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis, dengan posisi tubuh aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk yang persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak.
Periodisasi Aksara Nusantara
Zaman Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
Akara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada umumnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sanskerta atau bahasa daerah yang sangat terpengaruh Bahasa Sanskrta. Tapi ada juga aksara yang tidak dipengaruhi Buddha dan Hindu, tidak terpengaruh Bahasa Sanskrta, seperti aksara Malesung di Sulawesi Utara.
Zaman Kerajaan-kerajaan Islam
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di antaranya memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa daerah (misalnya Aksara Jawa dan Aksara Bali) ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem vokal Abjad Arab yang hanya mengenal tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci dan Aksara Buhid).
Zaman Modern
Aksara daerah yang berkembang pada zaman modern memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang tidak terdapat dalam bahasa daerah.
Perubahan Aksara Pallawa menjadi Aksara Nusantara
Perubahan Aksara Pallawa (kolom paling kiri) menjadi sejumlah aksara Nusantara. Kolom kedelapan adalah Aksara Jawa Baru (Hanacaraka), kolom kesembilan adalah Aksara Bali, dan kolom paling kanan adalah Aksara Bugis (Lontara).
Variasi
Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan kaidah inti aksara induknya.
Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain:
  • Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
    • Aksara Kayuwangi: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram (855 - 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling indah.
    • Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
    • Aksara Majapahit: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.
  • Variasi Aksara Batak
    • Aksara Toba: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba.
    • Aksara Karo: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo.
    • Aksara Dairi: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.
    • Aksara Simalungun: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun.
    • Aksara Mandailing: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing.
  • Variasi Aksara Lampung/Ulu
    • Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Pasemah
    • Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Serawai
    • Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak
    • Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang
  • Variasi Aksara Jawa
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
  • Variasi Aksara Bali
  • Variasi Aksara Lontara
Silsilah

Silsilah ini dapat disimak dalam bentuk gambar