Ø CORAK HIDUP MASYARAKAT
PRAAKSARA
1. Pola Hunian
Situs
Gua Hunian Pra Sejarah Morotai Selatan, Kajian Fungsi dan Artefaktual
Manusia
mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu
tengah)(Soekmono, 1996 : 46) atau masa berburu dan meramu tingkat
lanjut(Poesponegoro, 1993 : 125). Sebelumnya manusia belum mengenal tempat
tinggal dan hidupnomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal
tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat
sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu (Poesponegoro,
1993 : 135). Tempat tinggal yang pertama dihuni adalah gua-gua atau ceruk
peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber
makanan di sekitarnya habis. Selain di gua-gua, ada juga yang bertempat tinggal
di tepi pantai, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan kulit kerang
dan siput dalam jumlah banyak di samping tulang-tulang manusia dan alatnya di
Sumatera Timur (Poesponegoro, 1993 : 125).
Sebelum bertempat tinggal manusia sudah mempunyai kemampuan untuk membuat alat-alat yang berasal dari batu dan tulang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang sudah ada sejak jaman paleolithikum (batu tua). Tidak menutup kemungkinan alat yang berasal dari kayu sudah dibuat, namun dikarenakan sifat dari kayu yang tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Alat-alat dari masa ini bercirikan masih sangat sederhana, belum diasah dan menggunakan teknik droping system. Teknik droping system, yaitu memukulkan batuan yang satu dengan yang lain sehingga diperoleh bentuk yang diinginkan. Jadi alat dari masa paleolithikum ini tidak sengaja dibuat permanen, tapi dibuat berdasarkan kebutuhan pada saat itu. Seiring perkembangan pola pikir manusia, alat-alat yang digunakan manusia juga mengalami perkembangan, dari yang semula sangat sederhana tidak diasah menjadi diasah, bahkan dibuat dari bahan yang indah dan bagus. Alat-alat yang indah ini sebagian besar merupakan benda pusaka dan kemungkinan juga digunakan alat pertukaran. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya bekas pemakaian pada alat-alat tersebut. Sampai sekarang dalam kepercayaan masyarakat kita masih mengenal kepercayaan akan kekuatan batu yang indah, seperti batu permata dan lain sebagainya (Poesponegoro, 1993 : 178 - 180). Bahkan di Papua sampai sekarang kapak lonjong masih digunakan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat.
Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik (Bellwood, 1996 : 278 -279). Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu (Bellwood, 1996 : 280). Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.
2. Dari Berburu, Meramu
sampai Bercocok Tanam
Dalam
masa prasejarah Indonesia, corak kehidupan dengan cara berburu dan mengumpulkan
makanan (food gathering) dibagi menjadi dua masa, yaitu masa berburu dan
mengumpulkan atau meramu makanan tingkat sederhana serta masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Pada masa tingkat sederhana manusia hidup
secara berkelompok. Kelompok laki-laki melakukan perburuan, sedangkan kelompok
perempuan mengumpulkan dan meramu makanan. Perburuan dilakukan dengan alat-alat
yang masih sangat sederhana.
a.
Keadaan Lingkungan
Pada
awalnya manusia purba hidup di padang terbuka. Alam sekitarnya merupakan tempat
mereka mencari makanan. Mereka menyesuaikan diri terhadap alam sekitar untuk
dapat mempertahankan hidup. Manusia purba yang hidup di daerah hutan dapat
menghindarkan diri dari bahaya serangan binatang buas, terik matahari dan
hujan. Mereka hidup berkelompok, tinggal di gua-gua atau membuat tempat tinggal
di atas pohon besar. Manusia yang tinggal di gua-gua dikenal sebagai cavemen
(orang gua). Dengan demikian, mereka sangat bergantung pada kebaikan alam;
mereka cenderung pasif terhadap keadaan.
Kehidupan
di dalam gua-gua pada masa ini menghasilkan lukisan-lukisan pada
dinding-dinding gua yang (kemungkinan besar) menggambarkan kehidupan
sosial-ekonomi mereka. Lukisan-lukisan pada dinding gua lain berupa cap tangan,
babi dan rusa dengan panah dibagian jantungnya, gambar binatang melata, dan
gambar perahu. Lukisan dinding gua antara lain ditemukan di Sulawesi Selatan,
Irian Jaya, Kepulauan Kei, dan Pulau Seram.
b.
Kehidupan Sosial
Kondisi
alam sangat berpengaruh terhadap sifat dan fisik makhluk hidup tanpa kecuali
manusia. Pola kehidupan manusia yang primitif sangat menggantungkan hidupnya
pada ketersediaan alam, di mana daerah-daerah yang didiami harus cukup untuk
memenuhi kebutuhannya, untuk kelangsungan hidup terutama di daerah yang cukup
persediaan air. Temuan artefak pada Zaman Palaeolitikum menunjukkan bahwa
manusia Pithecanthropus sudah mengenal perburuan dan menangkap hewan dengan
cara yang sederhana.
Hewan
yang menjadi mangsa perburuan adalah hewan yang berukuran besar, seperti gajah,
sapi, babi atau kerbau. Saat perburuan, tentu diperlukan adanya kerja sama
antarindividu yang kemudian membentuk sebuah kelompok kecil. Hasil buruannya
dibagikan kepada anggota-anggotanya secara rata. Adanya keterikatan satu sama
lain di dalam satu kelompok, yang laki-laki bertugas memburu hewan dan yang
perempuan mengumpulkan makanan dan mengurus anak. Satu kelompok biasanya
terdiri dari 10 – 15 orang.
Pada
masa ini, manusia tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan
tepi sungai. Penangkapan ikan menggunakan mata panah atau ujung tombak yang
berukuran kecil. Temuan-temuan perkakas tersebut antara lain kapak Sumatera
(Sumatralith), mata panah, serpih-bilah dan lancipan tulang Muduk. Ini
menunjukkan adanya kegiatan perburuan hewan-hewan yang kecil dan tidak
membutuhkan anggota kelompok yang banyak atau bahkan dilakukan oleh satu orang.
Dalam kehidupan berkelompok, satu kelompok hanya terdiri dari satu atau dua
keluarga.
c.
Budaya dan Alat yang Dihasilkan
Masyarakat
berburu dan mengumpulkan makanan ini lebih senang tinggal di gua-gua sebagai
tempat berlindung. Mereka mulai membuat alat-alat berburu, alat potong,
pengeruk tanah, dan perkakas lain. Pola hidup berburu membentuk suatu kebutuhan
akan pembuatan alat dan penggunaan api. Kebutuhan ini membentuk suatu budaya
membuat alat-alat sederhana dari batu, kayu, tulang yang selanjutnya berkembang
dengan munculnya suatu kepercayaan terhadap kekuatan alam. Diduga, alat-alat ini
diciptakan oleh manusia pithecanthropus dari zaman Paleolitikum, misalnya
alat-alat yang ditemukan di Pacitan. Menurut H.R. von Heekeren dan R.P.
Soejono, serta Basuki yang melakukan penelitian tahun 1953-1954, kebudayaan
Pacitan merupakan kebudayaan tertua di Indonesia. Pada masa berburu dan meramu
tingkat lanjut, ditemukan alat-alat dari bambu yang dipakai untuk membuat
keranjang, membuat api, membuat anyaman dan pembakaran.
Selain
di Pacitan, temuan sejenis terdapat pula di Jampang Kulon (Sukabumi), Gombong,
Perigi, Tambang Sawah di Bengkulu, Lahat, Kalianda di Sumatera Selatan,
Sembiran Trunyan di Bali, Wangka, Maumere di Flores, Timor-Timur (Timor Leste),
Awang Bangkal di Kalimantan Timur, dan Cabbenge di Sulawesi selatan.
Hasil-hasil
kebudayaan yang ditemukan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan antara
lain:
1.
Kapak perimbas : tidak memiliki tangkai dan
digunakan dengan cara digenggam; diduga hasil kebudayaan Pithecanthropus
Erectus. Kapak perimbas ditemukan pula di Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina,
Thailand, Filipina, dan Vietnam.
2.
Kapak penetak : bentuknya hampir sama
dengan kapak perimbas, namun lebih besar dan masih kasar; berfungsi untuk
membelah kayu, pohon, bambu; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
3.
Kapak genggam : bentuknya hampir sama
dengan kapak perimbas dan penetak, namun bentuknya lebih kecil dan masih
sederhana dan belum diasah; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia;
digenggam pada ujungnya yang lebih ramping.
4.
Pahat genggam : bentuknya lebih kecil dari
kapak genggam; berfungsi untuk menggemburkan tanah dan mencari ubiubian untuk
dikonsumsi.
5.
Alat serpih atau flake : bentuknya sangat
sederhana; berukuran antara 10 hingga 20 cm; diduga digunakan sebagai pisau,
gurdi, dan penusuk untuk mengupas, memotong, dan menggali tanah; banyak
ditemukan di goa-goa yang pernah ditinggali manusia purba.
6.
Alat-alat dari tulang : berupa
tulang-belulang binatang buruan. Alat-alat tulang ini dapat berfungsi sebagai
pisau, belati, mata tombak, mata panah; banyak ditemukan di Ngandong.
Kepercayaan dalam
masyarakat purba sudah tumbuh dan berkembang sejak dahulu. Salah satu aspek
yang dapat dikaitkan dengan kepercayaan adalah berupa peninggalan-peninggalan
megalitik. Kepercayaan pada masyarakat purba dibedakan menjadi animisme,
dinamisme, totemisme dan Monoisme.
Ø Animisme merupakan
kepercayaan manusia purba terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal
dunia. Menurut mereka, arwah nenek moyang selalu memperhatikan mereka dan
melindungi, tetapi akan menghukum mereka juga kalau melakukan hal-hal yang
melanggar adat. Dengan demikian, orang tua yang mengetahui dan menguasai adat
nenek moyang akan menjadi pemimpin masyarakat. Penghormatan kepada nenek moyang
dilakukan dengan pimpinan orang tua tersebut, yang diterima oleh masyarakat
sebagai ketua adat.
Ø Dinamisme merupakan
kepercayaan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib, seperti gunung batu, dan
api. Bahkan benda-benda buatan manusia diyakini juga mempunyai kekuatan gaib
seperti patung, keris, tombak, dan jimat. Sesungguhnya proses pembuatan
benda-benda megalitik, seperti menhir, arca, dolmen, punden berundak, kubur
peti batu, dolmen semu atau pandhusa, dan sarkofagus dilandasi dengan kayakinan
bahwa di luar diri manusia ada kekuatan lain. Dilandasi anggapan bahwa menhir
atau arca, sebagai lambang dan takhta persemayaman roh leluhur, kedua jenis
peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Dolmen dan punden berundak digunakan untuk tempat upacara. Pendirian punden
berundak juga berdasarkan atas arah mata angin yang diyakini memiliki kekuatan
gaib atau tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh nenek
moyang.
Ø Totemisme merupakan
Kepercayaan atas dasar keyakinan bahwa binatang-binatang tertentu merupakan
nenek moyang suatu masyarakat atau orang-orang tertentu. Binatang-binatang yang
dianggap sebagai nenek moyang antara orang yang satu dengan orang atau
masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Biasanya
binatang-binatang yang dianggap nenek moyang itu, tidak boleh diburu dan dimakan,
kecuali untuk keperluan upacara tertentu.
Ø PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
1. Antara Batu dan Tulang
Peralatan
pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu dan tulang
yg berkembang pada zaman paleolitikum atau zaman batu tua. dikatakan zaman batu
tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan
kasar. kebudayaan zaman paleolitikum secara umum terbagi menjadi kebudayaan
pacitan dan kebudayaan ngandong.
a.
Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang didaerah pacitan. beberapa alat dari batu ditemukan di daerah ini. alat batu itu masih kasar dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya.alat batu ini sering disebut kapak genggam dan kapak perimbas, digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. dipacitan juga ditemukan alat yg disebut chopper sebagai alat penetak.
Kebudayaan ini berkembang didaerah pacitan. beberapa alat dari batu ditemukan di daerah ini. alat batu itu masih kasar dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya.alat batu ini sering disebut kapak genggam dan kapak perimbas, digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. dipacitan juga ditemukan alat yg disebut chopper sebagai alat penetak.
b.
Kebudayaan Ngandong
Didaerah ini banyak ditemukan alat dari batu dan tulang yg berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yg digunakan sebagai belati. disangiran jg ditemukan alat-alat dari batu yg indah seperti kalsedon. alat-alat ini sering disebut juga flakke.
Didaerah ini banyak ditemukan alat dari batu dan tulang yg berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yg digunakan sebagai belati. disangiran jg ditemukan alat-alat dari batu yg indah seperti kalsedon. alat-alat ini sering disebut juga flakke.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman
batu terus berkembang memasuki zaman batu tengah (mesolitikum). kebudayaan ini
sudah lebih maju dan mengalami penyempurnaan dari zaman paleolitikum.
kebudayaan ini dibagi menjadi kebudayaan kjokkenmoddinger dan abris sous roche.
a.
Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa denmark, kjokken berarti dapur dan moddinger dapat diartikan sampah (sampah dapur). dalan kaitannya dng budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yg menggunung di sepanjang pantai sumatera timur antara langsa aceh sampai medan.
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa denmark, kjokken berarti dapur dan moddinger dapat diartikan sampah (sampah dapur). dalan kaitannya dng budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yg menggunung di sepanjang pantai sumatera timur antara langsa aceh sampai medan.
b.Kebudayaan
Abris Sous Roche
Merupakan kebudayaan yg ditemukan di gua-gua. kebudayaan ini banyak ditemukan di besuki, bojonegoro, juga didaerah sulawesi selatan seperti di lamoncong.
Merupakan kebudayaan yg ditemukan di gua-gua. kebudayaan ini banyak ditemukan di besuki, bojonegoro, juga didaerah sulawesi selatan seperti di lamoncong.
3. Mengenal Api
Dari
proses trial and error, yang memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun inilah
terjadi perkembangan dan penyempurnaan pembuatan alat-alat yang digunakan,
sehingga manusia menemukan bahan dasar pembuatan alat yang baik dan kuat serta
hasilnya pun menjadi lebih baik. Dengan demikian tersusunlah pengetahuan
know how. Dalam bentuk know how itulah penemuan-penemuan tersebut diwariskan
kepada generasi-generasi selanjutnya. Perkembangan kebudayaan terjadi lebih
cepat setelah manusia menemukan dan menggunakan api dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan memanfaatkan api untuk menghangatkan tubuhnya,
ketergantungan manusia akan iklim menjadi berkurang. Api kemudian juga
digunakan untuk memasak dan perlengkapan dalam berburu. Di zaman yang lebih
maju nantinya, arti api menjadi lebih penting. Pengetahuan tentang proses
pemanasan dan peleburan merintis jalan pada pembuatan alat dari tembaga,
perunggu dan besi. Dalam catatan sejarah misalnya, peralatan besi digunakan
pertama kali di Irak abad ke-15 SM (Brouwer, 1982 : 6).
4. Sebuah Revolusi
Neolitikum sering dikatakan sebagai zaman
revolusi budaya. Mengapa demikian? Karena pada zaman ini terjadi perubahan
kebudayaan dari mengumpulkan makanan (food gathering) menjadi memproduksi
makanan (food producing). Hal ini menunjukkan adanya kemajuan pesat dari
kebudayaan sebelumnya pada masa Mesolitikum.
Pada zaman ini pula manusia sudah mulai
mengenal cara bercocok tanam dan beternak untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka
membakar hutan dan menanaminya dengan tanaman yang bisa dimakan seperti
umbi-umbian. Mereka juga beternak untuk dimanfaatkan dagingnya demi memenuhi
kebutuhan pangan mereka.
Mereka juga sudah mengenal tempat tinggal
tetap. Mereka tidak lagi hidup secara nomaden untuk mendapatkan makanan. Mereka
terdiri dari sebuah kelompok yang menghuni sebuah perkampungan yang tak
beraturan. Dimulai dari kelompok kecil hingga membentuk sebuah perkampungan
besar.
Namun mereka juga memiliki kendala. Mereka
harus memikirkan bagaimana caranya bertahan di kondisi alam yang belum stabil.
Apalagi ditambah dengan ancaman hewan buas yang dapat menyerang kapan saja. Sehingga
mereka memiliki solusi yaitu tinggal di rumah panggung.
5. Konsep Ruang Pada Hunian
(Arsitektur)
Menurut
Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah lingkungan
hidupnya. Pembuatan tanda tanda di alam yang membentang tak terhingga itu untuk
membedakan dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat tanda pada suatu
tempat itu dapat dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur. Pada saat itu
manusia sudah mulai merancang sebuah tempat.
Bentuk
arsitektur pada masa praaksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia pada
saat itu. Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah dan
bangunan yang berkembang pada masa praaksara saat itu. Dari pola mata
pencaharian manusia yang sudah mengenal berburu dan melakukan pertanian
sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah
menetap. Gambar didinding gua tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari,
tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di tepi gua yang
banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan sulawesi Selatan dikaitkan dengan
ritualpenghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi.
Bentuk
pola hunian pada masa praaksara menggunakan penadah angin, menghasilkan pola
menetap pada manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini masih digunakan
oleh Suku Bangsa Punan yangtersebar di kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan
bagian bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di gua. Penadah angin
merupakan suatu konsep tata ruangan yang secara implisit memberikan batas
ruang. Pada kehidupan dengan masyaraakat berburu yang masih sangat bergantung
pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam. Dengan
demikian konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur.
Aksara Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang digunakan di Nusantara untuk secara khusus menuliskan bahasa
daerah tertentu. Walaupun Abjad
Arab dan Alfabet
Latin juga
seringkali digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, istilah Aksara Nusantara
seringkali dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum berkembangnya Agama
Islam di Nusantara
dan sebelum kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di Nusantara. Berbagai macam media
tulis dan alat tulis digunakan untuk menuliskan Aksara Nusantara. Media tulis
untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu, tanduk hewan, lempengan emas,
lempengan perak, tempengan tembaga, dan lempengan perunggu; tulisan dibuat
dengan alat tulis berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara lain meliputi daun
lontar, daun nipah, janur kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal, kertas
impor, dan kain; tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pisau atau pena dan
tinta.
Pengantar
Bukti tertua
mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu
untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan
oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan
Timur. Tulisan pada
yupa-yupa tersebut menggunakan aksara
Pallawa dan Bahasa
Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para
ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4.
Setidaknya
sejak abad IV itulah Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus
berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai
terutama sejak bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa
Jawa Kuno) juga
dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskrta yang pada masa
sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV
Aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara
untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai
tergeser oleh Abjad Arab dan Alfabet Latin.
Sebagaimana
halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara
Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena
itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian
budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara
daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi
dasar munculnya Aksara
Sunda Baku pada tahun
1996.
Hampir semua
aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari
daerah India Selatan. Aksara Jawi, Akara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang
merupakan turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India
Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara
Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia
Selatan dan Asia
Tenggara.
Istilah Aksara
Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan
berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara
Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara
Buhid, Aksara Hanunó'o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya
merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.
Beberapa aksara
daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka
Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara
Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga
Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha ga gha nga.
Sejarah
Ada pendapat
sebelum hadir abjad
Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim
dipergunakan di kawasan Asia
Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina
Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara. Para sarjana (pribumi dan asing)
hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya
unsur (Hindu-Buddha) dari India yang datang dan menetap, melangsungkan
kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung
atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil
mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu
implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).
Namun sejauh
fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu
waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis Charles Damais
(l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar
menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus
kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya
berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya.
Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan
aliran India
Selatan atau aliran India
Utara, namun juga
cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada
pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap
lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber
tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang
tergolong kuno itu.
Ada asumsi
bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan
Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik
internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum
mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa
lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode itu pun
sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta cendekiawan lokal yang telah
meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada
klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi
wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah
mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba,
khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan
menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan
setempat (Damais 1952; 1955).
Sejarah
mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya)
disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama
Buddha. Jenis aksara
yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau
teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari
(Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di
Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks
keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar
atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan
matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai
unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun
melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk
aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau
stupika yang ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama
sampai ketiga Masehi. Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Aksara yang
kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India
Selatan) selanjutnya
disebut aksara
Pallawa (saja), juga
memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada
prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan
Kutai (Kalimantan
timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari
kerajaan Tarumanagara (Jawa
Barat) tahun 450
Masehi.
Kedua kerajaan
yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara
Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskerta dengan gaya khas
inovasinya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi sungai
Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa
Barat, disusun dan
ditata dengan metrum (sloka) Sanskerta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian
dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan
sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters,
conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauh mana kebenarannya, yang jelas
pilin—pilin gandha ataupun sulur-suluran—merupakan citra gaya seni geometris
yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara
(Djafar 1978).
Ragam hias yang
kemudian lebih banyak ditemukan sebagai karya asli pribumi khususnya berkembang
di beberapa daerah di Sulawesi. Karakter-karakter yang memiliki
keistimewaan sebagai hasil daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan
di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan
berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi
rumit sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan
kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara
selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya.
Pada dasarnya
aksara yang berkembang di Nusantara secara visual khususnya pada periode Klasik
secara umum terdiri dari 33 dasar ucapan sebagai berikut di bawah:
Pendek
|
Panjang
|
||
1.
|
Velar/laringal/guttural
|
a
|
ã
|
2.
|
labial
|
u
|
û
|
3.
|
palatal
|
i
|
î
|
4.
|
lingual/domal
|
r
|
ŗ
|
5.
|
dental
|
l
|
Ļ
|
Vokal Rangkap
[diftong]
Semua panjang
|
|||
1.
|
gutturo
palatal
|
e
|
ai
|
2.
|
gutturo
labial
|
o
|
au
|
ö
|
atau eu
|
Vokal Perubahan
a.
|
Visagra
|
[h]
|
b.
|
anusvaraabial
|
[ŋ]
|
Konsonan Dasar
Ucapan
1.
|
velar/laringal
guttural
|
k
|
kh
|
g
|
Gh
|
ng
|
|||
2.
|
Palatal
|
c
|
ch
|
J
|
jh
|
ny
|
y
|
š
|
|
3.
|
Lingual
|
ţ
|
ţh
|
H
|
ņ
|
ŗ
|
ş
|
||
4.
|
dental
|
t
|
th
|
D
|
dh
|
n
|
l
|
S
|
|
5.
|
Labial
|
p
|
ph
|
B
|
bh
|
m
|
w
|
||
h
|
Sejak awal
kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada
periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung
hingga abad ke-8 Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memperlihatkan
pengaruh Pallawa seperti gaya aksara masa sesudahnya
yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, namun hampir di setiap wilayah
Asia Tenggara Daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya
abad ke-8 Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi
memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
Gaya dan jenis
aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar
yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu Kuno, Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Bali Kuno).
Beberapa
pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara
merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan pertaliannya masih
belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal
dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu
(lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya
berkembang secara hampir bersamaan. Atau gaya yang telah ada kemungkinan
tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan
pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara Pegon dan Latin. Yang baru telah berkembang lebih
meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan tersebut
nampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara
Jawa (tengahan atau
baru), terdiri 20 aksara [ho-no-co-ro-ko]:
[ha]- [na]-
[ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
Kemudian aksara
Sunda yang kerap
disebut Ca-ca-ra-kan dengan bunyi yang hampir sama tetapi terdiri dari 18
aksara
[ha]- [na]-
[ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
Kuatnya ciri
pribumi yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk mengatasi kesulitan
tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi) bahasa-bahasa Nusantara dalam
mengalihaksarakan bunyi pepet/pepat dan hiatus (bunyi peralihan di antara dua
monoftong berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau konsonan antara seperti sia – sya – sya; dua –
duwa – dwa), semua unsur bunyi tersebut hanya dikenal di dalam kosakata
bahasa-bahasa daerah di Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, Sumatra, atau Malayu) yang tidak dikenal dalam kosakata bahasa ataupun aksara pengaruh dari India.
Ketiadaan inilah yang justru membedakan antara aksara Nusantara dan India,
tanda-tanda bunyi sepenuhnya milik "multlak" masyarakat Nusantara dan
tentu saja harus dicantumkan ke bentuk aksara.
Pada sejumlah
naskah sumber tertulis dari masa lebih tua yang umumnya menggunakan bahasa Sanskrta, kesulitan itu tidaklah terasa benar
karena tidak mengenal tanda-tanda bunyi seperti itu sehingga dirasa tidak perlu
mencantum-kannya, kecuali tanda-tanda diakritis. Mengatasi kesulitan itu
sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama pada pokok
kata, melainkan konsonan permulaan sukukata itu dirangkap dengan konsonan
permulaan dari sukukata kedua seperti dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas,
kdung pluk dan seterusnya. Meskipun diakui sang citraleka (penulis prasasti) tidaklah selalu konsekuen pada suku
kata yang sulit
atau tidak mungkin dirangkap, maka tanda [ĕ] (pepat) di sini diganti menjadi
bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken mapekan dan
seterusnya (Boechari:1958).
Media dan alat penulisan
Perbedaan media
tulis dan alat tulis mempengaruhi teknik yang digunakan untuk menulis dengan
efektif. Perbedaan teknik penulisan yang efektif untuk tiap jenis media tulis
dan alat tulis merupakan faktor besar yang menghasilkan keanekaragaman bentuk
huruf aksara daerah. Aksara Sunda Kuno memiliki bentuk huruf yang menyudut karena
bentuk huruf menyudut paling mudah untuk dituliskan di daun lontar, sedangkan
Aksara Bali memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf menyudut akan
memecah lembaran daun lontar mengikuti arah seratnya. Aksara Kerinci memiliki
bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut lebih mudah untuk
dituliskan di bilah bambu, sedangkan Aksara Jawa Baru memiliki bentuk huruf
membundar karena bentuk huruf membundar lebih mudah untuk dituliskan di
lembaran kertas.
Di masa lampau
aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat pada
berbagai media keras seperti batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-bahan lunak seperti daun
tal (ron-tal), atau nipah. Alat menggores atau memahat aksara pun disesuaikan
dengan kadar kekerasan bahan yang dipergunakannya yakni semacam tatah kecil
(paku/pasak) menyudut tajam pada bagian ujungnya, atau semacam pisau kecil
dibentuk melengkung, pipih, sangat tajam. Selain berfungsi untuk menorehkan
aksara, juga untuk mengiris dan menghaluskan bahan (daun) menjadi
lempiran-lempiran tipis dengan ukuran panjang, lebar dan ketebalan tertentu
yang siap pakai. Bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu
(emas, tembaga, perunggu) dipakai semata karena bahan tersebut dianggap lebih
tahan lama.
Sejumlah besar
data tekstual (prasasti) dari masa lampau sebagian besar ditemukan
pada batu atau lempeng emas, perunggu maupun tembaga dan selalu dikeluarkan
oleh penguasa (raja). Oleh karena itu setiap prasasti adalah dokumen resmi
pemerintah negara atau kerajaan dan benar-benar disahkan oleh raja dengan kata
lain Surat Keputusan (SK) kerajaan yang bersangkutan. Anugrah dari raja kepada
seseorang yang dianggap berjasa atau memutuskan sesuatu perkara hukum
(perdata). Karena itu selain digoreskan pada batu (otentik), dibuat beberapa
salinan atau tembusan (tinulad/tiruan otentik) prasasti yang digoreskan pada
lempeng tembaga disebut tamra prasasti (Kartakusuma 2003; 2006).
Pada masa
dahulu cara pengawetan sesuatu bahan belum dikenal, satu-satunya upaya kearah
itu disalin kembali, namun teknik penyalinan kembali lebih sering dilakukan
pada sejumlah naskah pada daun tal (rontal), atau daluwang semacam lembaran kertas atau bahan
yang diolah dari kulit pohon tertentu. Berbeda dengan negeri Cina, aksara dituliskan dengan menggunakan
kuas dengan cara disapukan setelah dicelupkan pada cairan berwarna pekat
(semacam tinta). Tentu saja hasilnya jauh berbeda, betapapun hasil goresan
berkesan lebih nampak jikalau dibandingkan hasil sapuan, karena aksara yang
digoreskan akan menampakkan jejak-tekan berbekas dalam dan terasa manakala
diraba dan tidak memerlukan pewarna (tinta) seperti yang dihasilkan oleh sapuan
kuas. Menggores atau memahat aksara dengan alat memang jauh lebih rumit,
memerlukan keahlian dan ketrampilan dengan ketekunan khusus, hasil latihan dan
kebiasaan (secara terus-menerus).
Pada masa
lampau, kegiatan menggoreskan aksara atau memahat suatu aksara (naskah
karyasastra atau prasasti) dipegang oleh ahli pemahat aksara yang disebut
citraleka. Maka itu hasil yang digoreskan atau uang pahatan aksara yang
berkembang pada masa klasik bentuknya lebih dapat digolongkan
sebagai karya seni kebudayaan menampilkan kekhasan atau keunikan jejak bekas
tersendiri. Tentu saja setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan
pahatan yang nampak pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis,
dengan posisi tubuh aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk yang
persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak.
Periodisasi Aksara Nusantara
Akara yang
berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada umumnya digunakan
untuk menuliskan Bahasa Sanskerta atau bahasa daerah yang sangat terpengaruh
Bahasa Sanskrta. Tapi ada juga aksara yang tidak dipengaruhi Buddha dan Hindu,
tidak terpengaruh Bahasa Sanskrta, seperti aksara Malesung di Sulawesi Utara.
- Aksara Pallawa
- Aksara Nagari
- Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
- Aksara Malesung (Aksara Minahasa Kuno)
- Aksara Buda
- Aksara Sunda Kuna
- Aksara Proto-Sumatera
Zaman
Kerajaan-kerajaan Islam
Aksara yang
berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di antaranya memiliki huruf untuk
menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa daerah
(misalnya Aksara Jawa dan Aksara Bali) ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem
vokal Abjad Arab yang hanya mengenal tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci
dan Aksara Buhid).
- Aksara Batak (Surat Batak)
- Aksara Rejang
- Aksara Kerinci (Surat Incung)
- Aksara Lampung (Had Lappung)
- Aksara Jawa (Aksara Jawa Baru/Hanacaraka)
- Aksara Bali
- Aksara Lontara
- Aksara Baybayin (Aksara Tagalog)
- Aksara Tagbanwa
- Aksara Buhid
- Aksara Hanunó'o
- Aksara Kapampangan
- Aksara Eskaya
Zaman Modern
Aksara daerah
yang berkembang pada zaman modern memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam
Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang tidak
terdapat dalam bahasa daerah.
Perubahan Aksara Pallawa menjadi Aksara Nusantara
Perubahan Aksara Pallawa (kolom paling kiri) menjadi sejumlah
aksara Nusantara. Kolom kedelapan adalah Aksara Jawa Baru (Hanacaraka), kolom kesembilan adalah Aksara
Bali, dan kolom
paling kanan adalah Aksara Bugis (Lontara).
|
Variasi
Seiring
perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat
mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap
saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak
terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Abjad
Arab yang digunakan
untuk menuliskan Bahasa
Arab sedikit
berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa
Melayu, atau juga Alfabet
Latin yang digunakan
untuk menuliskan Bahasa
Latin sedikit
berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa
Jerman. Dalam
perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk
memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan kaidah inti aksara
induknya.
Beberapa
variasi Aksara Nusantara antara lain:
- Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
- Aksara Kayuwangi: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram (855 - 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling indah.
- Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
- Aksara Majapahit: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.
- Variasi Aksara Batak
- Aksara Toba: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba.
- Aksara Karo: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo.
- Aksara Dairi: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.
- Aksara Simalungun: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun.
- Aksara Mandailing: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing.
- Variasi Aksara Lampung/Ulu
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Pasemah
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Serawai
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang
- Variasi Aksara Jawa
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
- Variasi Aksara Bali
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali.
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuno.
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak.
- Variasi Aksara Lontara
- Aksara Jangang-jangang : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar.
- Aksara Bilang-bilang : Variasi dengan bentuk-bentuk tersendiri untuk menuliskan Bahasa Bugis.
- Aksara Lota Ende : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Ende.
- Aksara Makassar : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar.
- Aksara Bugis : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bugis.
- Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Luwu.
- Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bima.
Silsilah
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
India
Utara |
|
|
|
India
Selatan |
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||
|
Pranagari
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||
Silsilah ini dapat disimak dalam bentuk gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar